Jumat, 26 Juni 2009
Keluarga Itu Permata
Pada setiap minggu pagi aku berlari pagi bersama teman-teman sebayaku menuju kota Banda Aceh yang jaraknya tidak jauh dari rumahku. Namun, di Minggu pagi 26 Desember 2004 itu aku memilih tidur setelah aku melaksanakan sholat Shubuh. Jam 8 pagi, adikku Wilda mengajakku untuk mandi. Namun, belum sampai aku ke kamar mandi, tiba-tiba rumahku bergetar hebat. Barang-barang berjatuhan dan pecah. Dinding rumahku retak-retak, kaca jendela dan pintu berantakan. Seisi rumah panik. Belum pernah seumur hidupku merasakan gempa sehebat itu. Semua yang ada di rumah berlarian keluar. Kulihat ibuku memeluk erat kedua adikku, Wilda dan Nurhaliza sambil merunduk menjauhi rumah. Ayahku sudah meninggal empat tahun yang lalu. Di jalan kulihat banyak tetangga sudah berlarian dan sebagian bertiarap di jalan-jalan. Tak lama kemudian, getaran mereda, semua kembali ke dalam rumah, sembari memperbincangkan apa yang baru saja terjadi. Aku dan seluruh keluargaku memulai sarapan pagi sambil menonton televisi. Piring-piring dan gelas pecah sudah kami bereskan. Aku tidak jadi mandi pagi itu, tetapi ikut menikmati sarapan pagi bersama seluruh keluargaku. Saat sedang nikmat-nikmatnya bersantap, tiba-tiba di luar rumah terdengar, “Air! Air!” Suara gemuruh menyusul di belakangnya. Dari jendela yang sudah berlubang aku melihat banyak orang berlarian tak karuan sambil mengangkut barang-barang. Aku, ibu, dan adik-adikku kembali keluar rumah, berlari sambil mengabarkan kepada orang-orang bahwa air laut naik. “Bilang sama orang-orang, kita lari ke gunung!” Teriak pemuka kampung. Sambil berlari kutengok ke belakang, gumpalan hitam bergulung-gulung dengan cepat menuju ke arah kami berlari. Semuanya histeris berlari secepat-cepatnya tanpa menghiraukan barang-barang bawaan. Aku tak ingat seberapa cepat dan lama aku berlari. Genangan air dan lumpur seakan susulmenyusul. Suara gemuruh dibarengi hantaman benda-benda keras semakin terdengar mendekat di belakang. Aku mencapai bukit dengan kaki yang sangat letih. Sayup-sayup kudengar suara laki-laki berteriak-teriak, para perempuan menangis, dan anak-anak menangis lebih keras lagi. Setelah tenagaku pulih kucoba mencari ibu dan adik-adikku. Seluruh tempat sudah kujelajahi, namun tak satu pun keluargaku kutemukan. Lemaslah seluruh tubuhku. Pedih rasa hatiku. Dapatkah aku meneruskan hidupku sebatang kara? Hari itu kurasakan betapa berat beban hidupku. Aku betul-betul dapat merasakan betapa tersiksanya hidup sendirian tanpa keluarga. Aku baru menyadari betapa berharganya keluarga, keluarga adalah permata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar